Berabad-abad yang lalu sebelum bangsa-bangsa Eropa datang dan menjajah Indonesia, bangsa Tionghoa sudah terlebih dahulu datang. Pada awalnya mereka hanya membuka peluang perdagangan, namun sebagian dari mereka akhirnya ada yang menetap dan tinggal sebagai warga negara Indonesia.


Kelenteng Kwan Sing Bio,( sponbob, Mei 2008 )



Bangsa Tionghoa banyak membawa pengaruh kepada masyarakat setempat. Beberapa diantaranya adalah kebudayaan, adat istiadat dan agama. Bukti-bukti ini dapat dilihat dari beberapa peninggalan mereka yang hampir tersebar diseluruh wilayah nusantara.

Salah satu peninggalan tersebut ada di daerah Tuban yang berupa klenteng. Klenteng yang menghadap ke laut ini dikenal dengan nama Klenteng "Kwan Sing Bio".

Klenteng ini diperkirakan telah berumur lebih dari ratusan tahun, didirikan pada tahun 1928.Tempat peribadatan ini banyak dikunjungi tidak hanya oleh umat yang ada di dalam negeri tetapi juga umat dari negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura dan Thailand.

Klenteng ini sangat mudah di kunjungi karena terletak di jalan utama (jalur Surabaya-Semarang) dan semua angkutan kota pasti melewatinya.

Pondok Pesantren (Ponpes) Perut Bumi Al Maghrobi termasuk aneh. Selain bertempat di goa bawah tanah –bekas tempat pembuangan sampah– ponpes di Jl Gedungombo, Kabupaten Tuban, ini juga telah menyembuhkan puluhan pecandu narkoba dan membuat insyaf sejumlah pelaku kejahatan.

Tatkala panas matahari menyengat permukaan bumi, Senin (13/4) siang, suasana dalam Ponpes Perut Bumi Al Maghori tetap terasa sejuk seperti pagi hari. Di salah satu aula pondok yang dibangun di bawah tanah seluas 1,5 hektare itu berkumpul para santri dan Kiai Subhan Mubarokh.

Kiai Subhan adalah pendiri dan pengasuh ponpes ‘aneh’ ini. Dia biasanya sibuk dengan rutinitas melayani ribuan jamaah yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air untuk melakukan istighosah di ponpes, setiap Sabtu dan Minggu

Sejak dibangun pada tahun 2002 silam, ponpes tersebut terus berkembang. Bukan hanya masyarakat dan para petinggi Jatim maupun nasional saja yang sering bertandang ke pondok dengan bangunan tujuh tingkat di bawah tanah ini, sejumlah orang penting dari negara lain juga. Misalnya, para pejabat dari Australia, Mesir, Irak, Kuait, dan Yaman.

Selain bangunannya unik, santri-santri yang menuntut ilmu di Ponpes Perut Bumi Al Maghori juga tergolong luar biasa. Antara lain, para mantan pecandu narkoba, perampok, pencuri, bajing loncat, pembunuh, dan pemabuk. Penampilan mereka pun tak seperti para santri ponpes pada umumnya. Di ponpes ini, tubuh sebagian besar santri penuh tato.

Berawal dari rasa bersalah, dan kesadaran yang timbul pada diri mereka, para pelaku kejahatan itu memilih jalan tobat dengan cara nyantri di pondok tersebut untuk mendapatkan bimbingan agama. Terbukti, sudah puluhan santri sembuh dengan sentuhan Islami ala Ponpes Perut Bumi Al Maghori.
Kini tinggal 10 santri yang berada di ponpes tersebut. Salah satunya adalah Fadilah, 28, pemuda asal Purbalingga, Jateng, yang sudah 18 bulan menjadi santri.

Kepada Surya, lelaki bertubuh ceking penuh tato ini mengaku sebelumnya merupakan salah satu orang yang dicari polisi lantaran berbagai kejahatan jalanan dan kebiasan mengkonsumsi narkoba. Sebelum ke ponpes, dia juga mengaku setiap malam bermimpi aneh-aneh, termasuk tentang kiamat.
“Setelah itu saya ingin taubat dan ada teman yang menunjukkan pondok ini,” terang lelaki berkacamata tersebut.

Sejak nyantri kepada Kiai Subhan, dia mengaku hidup lebih tenang. Tidak ada lagi bayang-bayang dosa yang terus menyelimuti setiap malam seperti saat masih berada di jalanan.

Fadilah adalah satu dari puluhan penjahat dan pecandu narkoba yang berhasil sembuh di Ponpes Perut Bumi Al Maghori. Bagaimana cara dia sembuh? Menurut Kiai Subhan, semua santri diwajibkan bangun setiap pagi pukul 03.00 WIB kemudian mengikuti istighosah sampai waktu subuh.
Setelah itu, dilanjutkan dengan wirid dan mengaji sampai pagi. “Pas pagi, sekitar pukul 06.00 WIB, untuk semua santri sudah disediakan mie dan kopi untuk sarapan bersama,” katanya.

***
Kiai Subhan menceritakan, sejak ponpes dibangun, dirinya tidak pernah meminta sumbangan kepada siapapun. Bahkan, akunya, setiap santri tidak dipungut biaya tetapi justru mendapat jatah makan senilai Rp 10 ribu setiap hari.

“Tempat ini dulunya lokasi pembuangan sampah. Alhamdulillah, meski pembangunannya membutuhkan uang sangat banyak –mengingat sebagian besar bahan dari marmer– kami tidak pernah meminta bantuan. Kami sangat bersyukur setiap tahun bisa dua kali memberi santunan kepada keluarga kurang mampu diwilayah sekitar,” ujar kiai kelahiran Lamongan ini.

Mengenai para santri yang mondok di sana, Kiai Subhan mengaku tidak pernah membedakan atau membatasi orang yang mau mendalami islam. Meskipun bekas penjahat atau bekas pecandu, kalau benar-benar ingin bertobat pasti dia terima.

Demikian halnya dengan para warga di Tuban, Kiai Subhan tidak pernah membedakan. Setiap bertemu orang yang sedang menggelar acara minum tuak, misalnya, dia tak segan memberi mereka uang. “Semua sama saja. Kita sama-sama manusia, jadi harus saling menghargai,” ujarnya.

Bagaimana dengan tempat kegiatan di Ponpes Perut Bumi Al Maghori? Menurut Kiai Subhan, untuk kegiatan rutin para santri menggunakan aula pondok. Tetapi, jika ada ratusan atau bahkan ribuan tamu datang dari berbagai daerah —biasanya naik puluhan bus– maka istighosah dilaksanakan di masjid dalam ponpes yang di tengahnya terdapat bangunan seperti ka’bah.

“Kalau dilihat dari luar memang terlihat sangat kecil, seperti hanya untuk jalan keluar-masuk saja, tapi di dalam lokasinya sangat luas. Teruma di masjid dan sekitar ‘ka’bah’,” sambungnya sambil menunjukkan bangunan serbamarmer di bawah tanah itu.

Kiai Subhan juga bicara mengenai kericuhan di depan pondok yang melibatkan anaknya, Briptu Zuhroni Ahmad (bukan Sahroni seperti ditulis sebelumnya, Red), anggota Polres Surabaya Utara yang meletuskan tembakan gara-gara kisruh dengan warga sekitar. Dia menyerahkan sepenuhnya masalah itu kepada proses hukum.

“Saya yakin anak saya tidak bersalah. Dia sedang membela bapaknya dan membela santrinya,” kata Subhan.

Seperti diberitakan, Sabtu (11/4) sekitar pukul 21.30 WIB Zuhroni berkelahi dengan warga sehingga meletuskan tembakan ke sebuah botol. Pemicunya, seorang santri melapor melihat ada supir bus pembawa rombongan jemaat dimintai uang oleh warga yang mabuk. Kasus Briptu Zuhroni sekarang masih ditangani pihak Provost Polres Surabaya Utara.


Alun-alun merupakan identitas kota Tuban dimasa lampau. Dari kehadiran alun-alun serta bangunan yang ada disekitarnya, kita bisa melihat kembali sejarah masa lalu kotanya. Pengaruh kerajaan kuno Hindu Jawa (alun-alun, kantor Kabupaten), pengaruh jaringan perdagangan Asia (kelenteng dan Pecinan), pengaruh jaringan perdagangan Asia lainnya dengan masuknya agama Islam (mesjid dan makam Sunan Bonang), serta pengaruh birokrasi kolonial (kantor pengadilan, penjara, kantor pos dsb.nya), semuanya merupakan bukti perjalanan sejarah kotanya dimasa lampau. Sebagai sebuah kota pelabuhan kuno di pesisir Utara Jawa, Tuban pernah mengalami pasang surut. Pada abad ke 15, kota ini pernah menjadi salah satu pelabuhan penting kerajaan Majapahit. Tapi pada abad ke 17, kotanya mengalami keterpurukan akibat pelabuhan nya yang mengalami pendangkalan serta invasi kerajaan Mataram. Pada masa kolonial, Tuban menjadi sebuah kota Kabupaten kecil yang kurang berarti. Tapi alun-alun Tuban ( salah satu alun-alun yang terluas di Jawa) tetap berdiri sebagai sisa-sisa kemegahan kotanya dimasa lampau. Pada awal abad ke 21, kota ini berusaha bangkit dengan penataan kembali daerah alun-alun sebagai pusat kota dan sekaligus juga jati diri kotanya.


Alun-alun merupakan identitas kota Tuban dimasa lampau. Dari kehadiran alun-alun serta bangunan yang ada disekitarnya, kita bisa melihat kembali sejarah masa lalu kotanya. Pengaruh kerajaan kuno Hindu Jawa (alun-alun, kantor Kabupaten), pengaruh jaringan perdagangan Asia (kelenteng dan Pecinan), pengaruh jaringan perdagangan Asia lainnya dengan masuknya agama Islam (mesjid dan makam Sunan Bonang), serta pengaruh birokrasi kolonial (kantor pengadilan, penjara, kantor pos dsb.nya), semuanya merupakan bukti perjalanan sejarah kotanya dimasa lampau. Sebagai sebuah kota pelabuhan kuno di pesisir Utara Jawa, Tuban pernah mengalami pasang surut. Pada abad ke 15, kota ini pernah menjadi salah satu pelabuhan penting kerajaan Majapahit. Tapi pada abad ke 17, kotanya mengalami keterpurukan akibat pelabuhan nya yang mengalami pendangkalan serta invasi kerajaan Mataram. Pada masa kolonial, Tuban menjadi sebuah kota Kabupaten kecil yang kurang berarti. Tapi alun-alun Tuban ( salah satu alun-alun yang terluas di Jawa) tetap berdiri sebagai sisa-sisa kemegahan kotanya dimasa lampau. Pada awal abad ke 21, kota ini berusaha bangkit dengan penataan kembali daerah alun-alun sebagai pusat kota dan sekaligus juga jati diri kotanya.

Mengenai Saya

Foto saya
nama lengkap saya adalah MUH.ABDURROIS,saya sering di panggil rois.